MEDAN - Dewan Pers bersama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menggelar Seminar Seruan Pers dari Sumatera Utara: Pers Bebas, Demokrasi Bermartabat dan Seminar Anugerah Jurnalistik Adinegoro Hari Pers Nasional Sumatera Utara 2023, di Ballroom Hotel Grand Mercure, Jalan Sutomo Medan, Selasa (7/2).
Hadir dalam acara tersebut, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran (FIB Unpad) Prof Dr Nina Herlina, Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan (Unimed) Dr Phil Ichwan Azhari, Sejarawan Indonesia, Df Wannofri Samry, Wartawan Senior Asro Kamal Rokan dan lainnya.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan, bahwa pentingnya menjaga kemerdekaan pers dan kualitas karya jurnalistik pers. Selama ini banyak insan-insan pers yang memiliki dedikasi luar biasa, walaupun belum mendapatkan anugerah dan bintang, tetapi di opini publik telah melegitimasi kebesaran mereka.
"Untuk itu mari kita dedikasikan do'a dan dukungan kita untuk para jurnalis yang telah mendedikasikan waktu dan hidupnya untuk karya jurnalistik yang berkualitas, " pinta Ninik.
Dijelaskannya, lahirnya UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, yang menyebutkan pilar demokrasi, kemerdekaan pers itu sebenarnya ada di Pasal 27 UUD 1945, yakni hak yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. "Orang bicara, menyampaikan pendapat itu tidak boleh diganggu, gak boleh dihalang-halangi oleh siapapun. Sehingga prinsip di Pasal 27 dan 28 menjadikan pers salah satu pilar demokrasi, " katanya.
Pihaknya sempat bertemu dengan Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) terkait kebebasan pers ini. Dari bahasanya dapat disimpulkan, bahwa kebebasan yang bertanggung jawab. "Nah, dari kata bertanggung jawab ini mari kita telaah dari regulasi yang ada. Bukan soal salah dan benar dalam produk jurnalistik, tetapi soal bagaimana implikasi dari pemberitaan bisa menjunjung demokrasi, apalagi terkait kebangsaan yang di dalam tata kelola saat ini menjadi prioritas, yaitu konsolidasi demokrasi. Dan pers memiliki peran yang sangat penting, " ujarnya.
Di dalam akuntabilitas, yakni di Pemerintahan, Ninik mengaku seringnya mendapat keluhan dari rekan pers, bahwa sulitnya mendapatkan konfirmasi dari pejabat publik. Padahal untuk mendapatkan berita yang kredibel, tidak bisa tidak. Harus ada konfirmasi dari narasumber untuk kebenarannya. "Karena itu untuk memenuhi kepentingan yang luar biasa, sementara proses konfirmasi narasumber belum bisa disampaikan, silahkan sebar saja, sambil ditulis belum mendapatkan konfirmasi. Jangan berhenti sampai disitu, sambil dilanjutkan mencari konfirmasi, " imbaunya kepada insan pers.
Menurutnya, selama ini, sering sekali cara-cara akuntabilitas ini sulit, tidak mudah. SOP nya terlalu banyak, sementara kerja media tugasnya, memberi informasi, menyampaikan fakta dan meningkatkan kontrol sosial serta meningkatkan intelektual publik. "Bagaimana bisa intelektual publik bisa bagus, jika akuntabilitas tidak dilakukan, tata kelola tidak baik, minimal transparansi, partisipatif dan akuntabilitas, " tegasnya.
Kemudian, lanjutnya, soal rotasi kekuasaan, terutama dalam Pemilu. Di sini tentunya menjunjung tinggi demokrasi, sehingga pers melakukan riset terkait calon pemimpin tersebut. Tentu produk jurnalistik menjadi sangat menarik jika publik diajak mengenal calon tersebut, tidak marah saat dibeberkan kelemahan. Di situ salah satu peran media.
"Lalu terkait hak dasar, yakni hak menyampaikan pendapat, hak bicara, serikat dan berkumpul, tidak ada intimidasi, tidak ada tekanan. Selama saya menjadi ketua Dewan Pers, ada beberapa kasus yang dialami jurnalis, yakni kasus pemukulan dan tindak kekerasan. Sampai saat ini belum ada perlindungan bagi teman-teman jurnalis, jika dipukul, disakiti, terutama konteks fisik, belum ada skema perlindungan yang utuh dari negara. Ini menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi kita bersama, " pungkasnya. (Al/Dwi)